Kamis, 13 Januari 2011

MADRASAH

Mempertegas Peran Madrasah Sebagai Pelopor Gerakan Indonesia yang Berkarakter

Oleh: Aris Adi Leksono*

Kegelisahan masyarakat Indonesia mengenai kondisi bangsa dan negara dewasa ini merupakan suatu hal yang harus dimaknai positif, terutama oleh para pengambil kebijakan. Kegelisahan seperti sekarang ini pernah dirasakan sebelumnya, saat menjelang terjadinya Arus Reformasi kita merasa sangat gelisah. Dan sebelum terjadinya Tragedi 1965 kita juga merasakan adanya suatu kegelisahan yang sangat mencekam. Di masa-masa lampau kita dapat keluar dari setiap krisis yang terdapat dibalik kegelisahan yang kita alami. Pertanyaannya, apakah kita juga akan keluar dengan selamat dari krisis yang akan menyusul kegelisahan kita sekarang ini, terutama terkait memudarnya karakter berbangsa dan bernegara?

Bagaimana Wajah “Indonesia yang Berkarakter”?
Ini merupakan suatu pertanyaan yang mau-tidak-mau harus kita jawab dengan baik. Maksud saya: kita harus menemukan suatu konsensus mengenai soal ini, bagaimana pun longgarnya konsensus itu pada taraf awal. Konsensus ini harus kita capai melalui suatu dialog kultural. Artinya, kita harus belajar melakukan dialog antara kita mengenai ciri-ciri kultural dari masyarakat Indonesia yang akan kita pandang bersama sebagai “Indonesia Yang Berkarakter.”

Ada dua kesukaran besar yang kita hadapi dalam hal ini. Pertama, kita lebih senang melakukan perdebatan daripada dialog. Memang perdebatan adalah suatu bentuk dialog, tetapi perdebatan-perdebatan yang kita lakukan lebih sering berupa “monolog kolektif” daripada dialog dalam arti yang sebenarnya. Dalam dialog yang benar terdapat usaha untuk saling mendengarkan dan saling memahami, pada pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam “monolog kolektif” yang terjadi ialah bahwa dua pihak atau lebih sama-sama berbicara, tetapi tidak saling mendengarkan. Hasilnya ialah bahwa pihak-pihak yang terlibat tidak saling memahami. Dan akhirnya tidak tercapai kesepekatan yang lahir dari pengertian timbal-balik (mutual understanding) dan penerimaan pandangan yang bersifat timbal-balik pula. Yang muncul dari perdebaran politik seperti ini ialah perhitungan suara mengenai penerimaan atau penolakan terhadap pandangan-pandangan yang muncul dalam perdebatan. Ini lalu kita sebut “konsensus”. Benarkah persetujuan seperti ini merupakan suatu “konsensus”? Artinya, kalau kesepakatan seperti ini hendak disebut juga sebagai konsensus, maka ini meruapakan suatu konsensus yang dangkal, konsensus yang dipaksakan. Konsensus yang benar, yang genuine, selalu ditandai oleh adanya “consent”.

Kesukaran kedua ialah karena masyarakat lebih terbiasa mendiskusikan perbedaan pandangan pada tataran politik, tidak pada tataran kultural. Pada tataran politik  berpikir tentang format, sedangkan pada tataran kultural berpikir tentang nilai. Membahas perbedaan pandangan pada tataran kultural membutunkan jangka waktu yang jauh lebih panjang daripada membahasnya pada tataran kultural. Idealnya perdebatan politik dilandasi oleh pandangan yang telah digodok dalam diskusi secara kultural, sehingga perdebatan yang timbul tidak menjadi polemik di masyarakat. 
   
Jadi, kalau ingin keluar dari transisi demokrasi ini, dan merintis jalan menuju “Indonesia Berkarakter”, suka atau tidak masyarakat, terutama para elite harus belajar melakukan dialog kultural. Sembari memupuk kemampuan masyarakat untuk melakukan dialog kultural. Kita harus mengajak masyarakat untuk belajar saling mendengarkan, saling memahami, dan membahas nilai-nilai yang mendasari pilihan atau preferensi kita. Ini suatu proses yang memerlukan pendidikan mendasar, bukan pendidikan yang bersifat instan, atau “pendidikan dadakan” dalam Bahasa Jawa.
   
Belajar dari Pengalaman
Sejarah mencatat bangsa ini telah mengalami beberapa kali kegagalan untuk membentuk Indonesia yang baik, bangsa yang berkarakter karena tidak adanya dialog kultural yang tuntas, hanya pada tataran eksekutif bangsa, sebagai landasan dari keputusan politik yang  diambil untuk keteraturan secara nasional. Dalam hal ini terdapat tiga pengalaman yang dapat diambil pelajaran untuk membangun karakter Bangsa yang lebih baik, pertama; soal negara federal versus negara Kesatuan, kedua; soal negara Islam lawan negara sekuler, dan ketiga soal Tujuan Pendidikan Nasional, termasuk akhir-akhir ini banyak yang membicarakan tentang pendidikan karakter. Artinya jika issu pendidikan karakter ini ingin benar-benar menjadi konsensus bangsa, maka perlu adanya dialog kultural seluruh elemen bangsa secara tuntas.

Pengalaman pertama, persoalannya ialah apakah Indonesia setelah mencapai kemerdekaan sebaiknya mengadopsi bentuk negara federal atau negara kesatuan. Dalam kasus ini pandangan almarhum Bung Hatta bertentangan dengan pandangan almarhum Bung Karno. Ini sebetulnya merupakan permulaan dari usaha membangun kemampuan bangsa untuk melakukan dialog kultural. Masing-masing pihak mengemukakan segi positif dari sistem yang didukungnya. Sungguh sayang, bahwa dialog kultural ini tidak berlangsung sampai tuntas, karena Bung Karno kehilangan kesabaran berdialog, dan kemudian mempergunakan ketrampilannya dalam ber-retorika politik untuk menyapu bersih arguman Bung Hatta. Memang pada akhirnya mengadopsi bentuk negara kesatuan, tetapi perkembangan-perkembangan yang terjadi selanjutnya memperlihatkan kelemahan yang terdapat dalam sistem negara kesatuan ini. Diantaranya setelah dilaksanakannya sistem otonomi daerah secara cukup luas, timbul pertanyaan, apa sebenarnya perbedaan hakiki dari sistem negera kesatuan berotonomi daerah secara luas dengan sistem negara federal.

Pada pengalaman kedua, negara Islam versus negara sekuler, Bung Karno mengambil keputusan negara berdsarkan Pancasila. Keputusan ini ditaati, dan tetap berlaku sampai sekarang.Tetapi yang apa yang terjadi di masyarakat, tetap ada gejolah-gejolak halus yang mengisyaratkan adanya ketidakrelaan, bahwa negara dengan penduduk yang mayoritas memeluk agama Islam tidak melaksanakan syariat Islam secara tegas. Bisa dilahat antara lain prakarsa untuk menciptakan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang akan membuat suasana Islami lebih terasa dalam masyarakat Indonesia. Lagi-lagi ketidaktuntasan dialog kultural membuat polemik di masyarakat. Masyarakat langsung diajak terjun dalam perdebatan politik dengan prasangka masing-masing tentang negara Islam, negara sekuler, masyarakat Islam, dan masyarakat sekuler.

Pengalaman ketiga –kasus tentang tujuan pendidikan nasional—persoalan intinya ialah apakah pendidikan di sekolah Indonesia harus mengutamakan pendidikan menuju ke “keimanan dan ketakwaan”, ataukah sebaiknya mengutamakan pendidikan menuju ke “kemampuan mengenali, memahami, dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa”. Artinya: Apakah tujuan pendidikan nasional sebaiknya dirumuskan dengan idiom ke-Islaman, ataukah dengan idion sekuler. Soal ini sebenarnya dapat di-dialog-kan secara kultural. Tetapi kita memilih untuk memperdebatkannya secara politik. Dan pada akhir perdebatan kita memilih rumusan yang bernuansa Islam, dan kita katakan, bahwa pendidikan nasional Indonesia mengutamakan pendidikan yang menuju ke keimanan dan ketakwaan, sehingga, menafikan karakter bangsa sesunggunya.

Persoalannya di sini, bukan hasil votingnya dari dialog politik tersebut, melainkan proses yang kita lalui sampai terjadinya voting. Bagimana yang terjadi adalah tipisnya keinginan dan sedikitnya kesempatan untuk mengkaji aspek-aspek kutural dari perdebatan ini. Perlu diingat pada pengalaman ini, fokus permasalahan bukan pada perbedaan hakiki antara “pendidikan dengan orientasi religieus” dengan “orientasi sekuler”. Ketika ditanya, misalnya, apakah ‘takwa’ sebagai konsep pedagogis sama dengan konsep “voluntary personal commitment to values”, maka tidak didapatkan jawaban yang memuaskan. Artinya yang paling penting bukan sekedar perbedaan antara “pendidikan religius” dengan “pendidikan sekuler”, melainkan konsekuensi dari pilihan yang dipilih. Kalau kemudian diputuskan untuk mengutamakan pendidikan yang menuju ke “keimanan dan ketakwaan”, bagaimana nantinya metode yang harus kita tempuh untuk melaksanakan pendidikan menuju yang bernuansa religus ini, dan bagaimanakan cara meng-evaluasi keberhasilan dalam pendidikan keimanan dan ketakwaan ini.

Berdasarkan pengalaman di atas, bahwa suatu persoalan bangsa yang diselesaikan hanya berdasarkan suatu keputusan politik yang tidak memberikan perhatian yang memadai terhadap  aspek-aspek kultural yang melekat pada persoalan tadi akan cepat kehilangan daya solutifnya. Dalam keadaan yang paling ideal pun penyelesaian seperti ini hanya akan merupakan suatu penyelesaian sementara, dan akan segera harus ditinjau kembali untuk mencegah munculnya manifestasi baru dalam bentuk yang tidak mudah terdeteksi. Jadi mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus memahami landasan kultural dari suatu persoalan bangsa untuk dapat “menjinakkannya”, sehingga keputusan yang diambil adalah bagian dari upaya memperkuat karakter bangsa. di sinilah optimalisasi peran madarasah dalam mencetak kader bangsa yang memiliki wawasan kultur yang dibingkai dalam ke-khasan spiritualitasnya.

Pada fase berikutnya, tidak kalah pentingnya adalah bagaimana optimalisasi peran media dalam turut “mendewasakan dan menyadarkan” masyarakat akan pentingnya karakter bangsa. Media mepuyai kewjiban moral untuk menuntun masyarakat ke perilaku kolektif yang lebih dewasa, lebih bertanggungjawab dalam menghadapi situasi-situasi yang rawan. Pada akhirnya media harus menentukan bagi dirinya sendiri, sampai di mana dirinya akan melibatkan diri dalam gerakan untuk membangun Indonesia yang lebih baik, mandiri, dan berkarakter. Madrasahku... Mediaku.. & Masa Depan Bangsaku...

* Peneliti Muda LP3M STAINU Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar